EU-WSR: TANTANGAN BARU INDUSTRI PULP DAN KERTAS SUMATERA
Industri pulp (bubur kertas) dan kertas menjadi salah satu sektor industri strategis dalam perekonomian nasional. Indonesia merupakan salah satu pemain besar dalam industri pulp & kertas di dunia, yang mana pada 2021 berada pada posisi ke-2 untuk produksi pulp dan peringkat ke-4 produksi kertas di Asia. Ekspor produk kertas dan turunannya juga menjadi andalan dalam penerimaan devisa negara. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, total nilai ekspor industri pulp dan kertas pada tahun 2023 yaitu sebesar 8,27 miliar Dollar AS atau menyumbang sebesar 4,48% dari keseluruhan ekspor industri pengolahan. Capaian tersebut berkontribusi sebesar 4,03% terhadap PDB Non-Migas.
Dalam perkembangan terkini, industri pulp dan kertas dihadapkan pada tantangan dari penerapan European Union Waste Shipment Regulation (EU-WSR). Kebijakan ini diterapkan oleh Uni Eropa dengan tujuan mengontrol dan mengatur pengiriman limbah berbahaya maupun tidak berbahaya antar negara anggota Uni Eropa serta negara non-Uni Eropa. Regulasi ini dirancang untuk melindungi lingkungan hidup dari risiko yang disebabkan oleh perpindahan dan pembuangan limbah secara tidak bertanggung jawab. EU-WSR mencakup beberapa poin penting, antara lain:
- Pengaturan ekspor dan impor limbah di antara negara Uni Eropa dan pihak ketiga. Hal ini mencakup limbah berbahaya yang membutuhkan prosedur izin khusus maupun impor limbah tidak berbahaya yang tetap perlu pemantauan.
- Larangan ekspor limbah berbahaya dari negara Uni Eropa ke negara non-OECD, termasuk Indonesia. Hal ini untuk mencegah pembuangan limbah yang tidak dapat diolah secara bertanggung jawab di negara berkembang dengan keterbatasan infrastruktur pengelolaan limbah yang memadai.
- Penekanan pada daur ulang dan pemulihan sumber daya sebagai bentuk penerapan konsep circular economy, dimana limbah yang dihasilkan harus diolah dan didaur ulang secara optimal untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Penerapan kebijakan EU-WSR memberikan sentimen negatif bagi industri pulp (bubur kertas) dan kertas. Hal ini dipengaruhi oleh fakta selain kayu, industri pulp dan kertas juga membutuhkan bahan baku non-kayu berupa kertas daur ulang (KDU). KDU (HS 4707) digunakan umumnya sebagai bahan baku kertas budaya seperti kertas koran (HS 4801), kertas tulis cetak dan kertas sembahyang (HS 4802, 4809, 4810). Berdasarkan data serapan pasar, produsen domestik membutuhkan sebanyak 6,2 juta ton KDU, di tengah produksi KDU dalam negeri yang hanya dapat memenuhi 2,5 juta ton atau sekitar 30% dari total kebutuhan nasional.
Keterbatasan pasokan KDU dalam negeri melatarbelakangi impor skala besar termasuk dari Uni Eropa. Uni Eropa sendiri merupakan eksportir utama KDU dunia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023 Indonesia mengimpor lebih dari 700 ton KDU yang setara dengan 114 juta Dollar AS dari Uni Eropa, khususnya dari Belanda dan Italia. Industri pulp & kertas Indonesia telah bergantung pada impor KDU dari Uni Eropa lebih dari dua dekade sejak tahun 2000. Selain itu, berdasarkan data dari EU pada 2021, Indonesia menempati posisi ke-2 negara tujuan ekspor KDU dari Uni Eropa ke negara non-EU setelah India.
Pohon Industri Pulp & Kertas
Implementasi kebijakan EU-WSR memberikan dampak signifikan bagi industri pulp & kertas Indonesia. Sumatera terutama sebagai wilayah utama dari industri pulp & kertas nasional perlu segera beradaptasi dengan kondisi pengetatan standar pengelolaan limbah tersebut, agar tetap dapat berpartisipasi dalam rantai pasok global yang menuntut kepatuhan pada kebijakan EU-WSR. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan biaya operasional dengan adanya standar yang lebih ketat terkait daur ulang dan pengelolaan limbah. Industri pulp & kertas juga perlu memperbaharui teknologi untuk mematuhi standar yang ditentukan baik dalam proses produksi maupun pengelolaan limbah. Risiko terbesar yang juga dapat terjadi adalah penurunan ekspor produk pulp & kertas Sumatera jika tidak mampu mematuhi regulasi EU-WSR tersebut, khususnya ekspor ke negara tujuan Uni Eropa.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menyikapi rencana implementasi kebijakan EU-WSR ini. Sejumlah pertemuan dan perundingan bersama likeminded countries telah diinisiasi. Pertemuan dengan likeminded countries dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran negara pengimpor limbah dari UE antara lain Turki, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Mesir dalam menyusun strategi guna mengurangi dampak penerapan regulasi tersebut. Pertemuan juga telah dilakukan antara Delegasi Indonesia dengan pihak Uni Eropa, yaitu European Commision dan European Parliament untuk mendiskusikan secara spesifik regulasi impor limbah non-B3. Penyesuaian atas egulasi yang relatif kompleks dan ketat perlu diupayakan, sehingga Indonesia dapat eligible masuk dalam daftar negara yang dapat melakukan impor limbah dari Uni Eropa.