Emas Biru dari Sumatera: Menyelami Potensi Perikanan Berkelanjutan

Sebagai wilayah dengan garis pantai membentang lebih dari 19.000 kilometer, potensi perikanan di Sumatera seolah tak terbatas. Dari Samudera Hindia di batas barat hingga Selat Malaka di bagian timur, Sumatera mampu memproduksi 3,7 juta ton perikanan pada tahun 2023. Besarnya potensi perikanan di wilayah ini menjadikan salah satu daerah di Sumatera pernah menjadi pusat perikanan dunia pada abad ke-20.

Menilik historis perikanan Sumatera, Bagan Siapi-Api yang merupakan ibukota Kabupaten Rokan Hilir di Provinsi Riau dikenal sebagai pelopor perikanan dan kemaritiman Indonesia. Sumber daya perikanan tangkap yang melimpah dan lokasinya berada di jalur strategis Selat Malaka, sebagai jalur perdagangan tersibuk dunia, memberikan kemudahan akses distribusi hasil laut Bagan Siapi-Api ke berbagai negara, termasuk Singapura dan Malaysia. Pada masa kejayaannya sekitar tahun 1930-an, Bagan Siapi-Api mampu memproduksi hingga 300 ribu ton perikanan per tahunnya, dan menjadikannya sebagai kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah kota Bergen di Norwegia.

Eksploitasi berlebihan dan proses penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan menjadi penyebab redupnya kejayaan Bagan Siapi-Api. Penggunaan alat tangkap seperti pukat harimau (trawl) menjadi salah satu penyebab penurunan produksi perikanan yang cukup signifikan. Trawl merupakan perlengkapan untuk menangkap ikan menggunakan jaring besar yang ditarik di belakang kapal. Penggunaan trawl tidak hanya menangkap ikan dilakukan dalam jumlah besar (overfishing), tetapi juga berdampak pada kerusakan ekosistem dasar laut. Rusaknya habitat perikanan dan penangkapan ikan muda yang belum siap berkembang biak (juvenile) berdampak pada penurunan produktivitas perikanan. Seiring terbatasnya hasil tangkapan laut, fokus ekonomi mulai beralih ke sektor lain, seperti perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahan. Kurangnya regulasi yang efektif juga menjadi salah satu penyebab utama degradasi sumber daya laut. Pada saat itu, belum ada mekanisme yang kuat untuk mengatur jumlah tangkapan, melarang alat tangkap yang merusak, maupun melindungi habitat penting bagi reproduksi ikan. Demikianlah Bagan Siapi-Api mulai kehilangan statusnya sebagai pusat perikanan dunia.

Harapan baru emas biru Sumatera melalui pengembangan perikanan tangkap dan budidaya yang berkelanjutan. Berkaca dari kejadian Bagan Siapi-Api, terdapat pelajaran berharga mengenai pentingnya menjaga ekosistem perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Sebagai tindak lanjut, Pemerintah telah menerapkan regulasi larangan penggunaan trawl melalui Keppres No. 39 Tahun 1980 yang berlaku sejak 1 Januari 1981 untuk wilayah Sumatera. Selain itu, Pemerintah juga menetapkan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) melalui PP No. 11 Tahun 2023 yang berlaku sejak 1 Januari 2025. Sebagai solusi untuk mengurangi tekanan terhadap perikanan tangkap, perikanan budidaya memberikan alternatif yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan sekaligus memberikan waktu untuk memulihkan ekosistem laut yang rusak. Perikanan budidaya juga memungkinkan kontrol yang lebih baik terhadap ukuran dan jenis ikan yang diproduksi, serta memastikan bahwa hanya ikan yang telah mencapai usia matang yang dipanen. Melalui dukungan teknologi modern dan pelatihan kepada pelaku usaha, sektor ini dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Sektor perikanan Sumatera memiliki prospek yang sangat besar untuk dikembangkan. Dengan kombinasi antara praktik perikanan tradisional yang dikelola secara berkelanjutan dan pengembangan perikanan budidaya yang modern, Sumatera memiliki peluang besar untuk kembali menjadi simbol kejayaan perikanan Indonesia. Tidak hanya sebagai warisan sejarah, tetapi juga sebagai contoh nyata tentang bagaimana emas biru keberlanjutan ini dapat dicapai melalui kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan industri.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments