Menakar Potensi Bioetanol Sumatera dari Industri Gula
Di tengah gagasan Energi Baru-Terbarukan (EBT) berupa Biofuel, muncul berbagai pro dan kontra dari masyarakat. Meski EBT membawa dampak positif bagi lingkungan dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, tak sedikit masyarakat yang khawatir terhadap efek sampingnya terhadap keawetan kendaraan bermotor. Adu argumen di antara masyarakat seringkali mengangkat sisi teknis terkait dampak positif bagi lingkungan sampai dengan dampak negatif bagi mesin kendaraan. Namun demikian, masih sedikit yang mengutarakan bagaimana kondisi dan kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan Biofuel ini, termasuk apakah sumber daya yang dimiliki memadai.
Lalu apa sebenarnya Biofuel yang akan diimplementasikan di Indonesia?
Biofuel diartikan sebagai bahan bakar yang berasal dari sumber nabati dan sumbernya dapat diperbarui terus menerus. Sementara itu, bahan bakar yang akan diimplementasikan di Indonesia diwacanakan berupa E10 atau bahan bakar yang terdiri dari 10% Etanol dan 90% Bahan Bakar Minyak (BBM). Etanol yang kita kenal juga sebagai alkohol dapat diproduksi secara nabati melalui proses pemurnian hasil fermentasi zat pangan, di antaranya molase atau tetes tebu.
Berbicara molase, sejumlah sumber mengatakan bahwa pemanfaatan molase di dalam negeri saat ini masih terbatas untuk produksi penyedap rasa atau juga disebut Mono-Sodium Glutamat (MSG). Itupun masih belum mampu menyerap produksi molase dalam negeri secara maksimal. Hal ini terkonfirmasi dari data BPS yang menunjukkan bahwa pada tahun 2023 ekspor molase mencapai 820 ribu ton/tahun.
Molase dihasilkan sebagai produk samping pada industri gula kristal. Dirangkum dari sejumlah sumber, umumnya dihasilkan sebanyak 0,5 kg molase/kg gula kristal. Jika menilik data BPS bahwa rata-rata produksi gula kristal dalam negeri tahun 2022-2023 mencapai 2,4 juta ton/tahun, maka kisaran jumlah molase yang dihasilkan sebesar 1,2 juta ton/tahun.
Lantas apakah molase ini memadai untuk memenuhi pasokan program E10?
Di dalam 1 liter bahan bakar E10 memerlukan setidaknya 100 mL Etanol dengan kemurnian 99,5%. Sementara itu, setiap fermentasi 1 kilogram molase umumnya dihasilkan 0,25 liter etanol dengan kemurnian 10%. Etanol dengan kadar 10% tentu belum memenuhi syarat untuk dijadikan campuran E10. Maka dari itu, perlu dilakukan proses pemurnian lebih lanjut yang meliputi distilasi dan adsorpsi agar mencapai etanol dengan kemurnian 99,5%. Setelah melalui proses panjang ini, dapat disederhanakan bahwa setiap 100 kilogram molase akan menghasilkan 2,51 liter etanol dengan kemurnian 99,5%.
Dari perhitungan di atas, dapat dilakukan perhitungan awal untuk mengetahui seberapa banyak etanol yang dapat dihasilkan dari pasokan molase dalam negeri. Sebagaimana diketahui, produksi molase dalam negeri mencapai 1,2 juta ton/tahun. Jika dikalikan dengan yield etanol murni sebesar 2,5%, maka potensi etanol murni yang dapat dihasilkan dari molase di dalam negeri mencapai 300 ribu liter/tahun. Jika dicampurkan menjadi bahan bakar E10, maka dapat dihasilkan 3 juta liter E10/tahun.
Sementara itu, konsumsi BBM nasional saat ini mencapai 25 juta liter/tahun. Konsumsi tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan perkiraan kemampuan produksi E10. Berdasarkan asumsi dan perhitungan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan etanol untuk E10 diperlukan juga penguatan pasokan bahan baku produksi etanol dalam negeri, baik itu melalui perluasan industri gula maupun sumber lainnya.
Lantas bagaimana dengan Sumatera?
Menurut data BPS, produksi gula kristal Sumatera mencapai 860 ribu ton/tahun. Berdasarkan angka ini, produksi molases Sumatera diperkirakan sebesar 430 ton/tahun sehingga potensi produksi etanol sebesar 107 ribu liter/tahun. Lebih lanjut, potensi ini menunjukkan bahwa setidaknya sebanyak 1,07 juta liter E10 dapat dihasilkan dari pasokan molase Sumatera setiap tahun.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan E10 diperlukan juga upaya peningkatan pasokan bahan baku produksi etanol. Sumatera yang memiliki keunggulan berupa luas lahan subur yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia dapat menjadi lokus untuk perluasan industri nabati yang produk sampingnya dapat digunakan sebagai bahan baku etanol.



