Mengakselerasi Kopi Sumatera: Menjawab Peluang dan Momentum Pasar Global
Beberapa tahun terakhir, kopi bukan lagi sekadar minuman pengusir kantuk. Di tangan generasi muda, kopi menjelma menjadi bagian dari gaya hidup, simbol pergaulan, ekspresi dan identitas diri. Nongkrong di kafe bukan hanya soal ngopi, tapi juga tentang pengalaman, interaksi sosial, dan estetika. Pergeseran ini bukan hanya menjadi fenomena lokal. Di banyak negara, konsumsi kopi tumbuh stabil 1–1,5% per tahun atau setara dengan tambahan permintaan 100–160 ribu ton kopi. Menariknya, di Indonesia tren ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya kesadaran kesehatan, dimana kopi kian diminati, di tengah melandainya konsumsi alkohol di kalangan muda. Data BPS menunjukkan konsumsi alkohol per kapita di Indonesia turun dari 0,48 liter pada 2018 menjadi 0,33 liter pada 2022, dengan tren penurunan konsisten selama lima tahun terakhir (Grafik 1).

Coffee culture perlahan mengisi ruang sosial secara lebih luas, tecermin dari konsumsi kopi domestik yang terus menunjukkan tren kenaikan. Berdasarkan USDA Coffee: World Markets and Trade (Juni 2025), konsumsi kopi Indonesia pada tahun pemasaran 2024/2025 diperkirakan mencapai 4,8 juta bag atau setara 288 ribu ton, naik sekitar 0,5% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 4,78 juta bag (286,5 ribu ton) (Grafik 2). Perubahan gaya hidup generasi muda dan maraknya budaya ngopi di kafe serta rumah (home brewing) menjadi pendorong utama. Pertumbuhan kelas menengah, urbanisasi, dan pengaruh media sosial turut memperluas basis konsumsi kopi, terutama di perkotaan. Pergeseran gaya hidup ini menciptakan demand base yang relatif stabil. Tren ini bukan sekadar urusan selera, melainkan peluang ekonomi besar yang jika dikelola dengan benar dapat mengangkat kopi Sumatera ke panggung dunia.
Sumatera menyimpan semua fondasi penting untuk menjawab peluang tersebut. Sebagai salah satu produsen utama kopi di Indonesia, Sumatera menghasilkan robusta dalam volume besar dari Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, serta arabika khas seperti Gayo dan Mandailing yang telah dikenal luas di pasar internasional. Keunikan geografis Indonesia yang terbelah oleh garis khatulistiwa memungkinkan musim panen kopi hampir sepanjang tahun, dimana wilayah utara khatulistiwa panen pada Oktober–Januari, sementara wilayah selatan khatulistiwa panen pada Mei–Agustus. Ini menjadikan Indonesia satu dari tidak banyak produsen yang bisa menjaga kontinuitas pasokan ekspor, sebuah keunggulan yang bernilai di pasar global.

Meski begitu, peningkatan produktivitas menjadi salah satu tantangan mendasar yang perlu menjadi perhatian bersama. Berdasarkan data FAOSTAT (2023), produktivitas kopi Indonesia diperkirakan hanya sekitar 0,8 ton/ha, tertinggal dari Brasil (1,6 ton/ha) dan jauh di bawah Vietnam (2,6–2,8 ton/ha). Dari sisi luas lahan, Indonesia merupakan negara dengan area tanam kopi terbesar ketiga di dunia, mencapai sekitar 1,27 juta hektar pada 2023, hanya kalah dari Brasil dan sedikit di atas Ethiopia serta Kolombia (Grafik 3 dan 4). Namun, luas lahan yang besar tersebut belum diimbangi oleh hasil produksi yang tinggi. Total produksi Indonesia hanya sekitar 760 ribu ton, jauh di bawah Vietnam yang dengan luas lahan lebih kecil (sekitar 667 ribu hektare) tetapi mampu menghasilkan hampir 2 juta ton kopi per tahun. Perbandingan ini menegaskan bahwa produktivitas menjadi kunci utama dalam memperkuat daya saing kopi Indonesia. Dengan peningkatan produktivitas melalui peremajaan tanaman dan efisiensi budidaya di lahan eksisting, Indonesia dapat meningkatkan output secara signifikan tanpa perlu perluasan lahan, sekaligus memperkuat posisinya di pasar global yang semakin kompetitif.

Selain peningkatan produktivitas, arah perkembangan pasar global juga memberi peluang baru yang dapat dimanfaatkan Sumatera. Berdasarkan proyeksi USDA, produksi arabika dunia terus mengalami tekanan sejak 2020/21 dan diperkirakan kembali turun pada 2025/26 menjadi sekitar 97 juta bag, lebih rendah dibandingkan 102 juta bag pada 2020/21. Sebaliknya, produksi robusta global diproyeksikan naik signifikan dari 72 juta bag pada 2023/24 menjadi 81,7 juta bag pada 2025/26 (Grafik 5). Pergeseran struktur produksi ini membuka peluang strategis bagi Sumatera yang menjadi basis utama robusta Indonesia, untuk mengambil peran lebih besar di pasar perdagangan kopi dunia. Sumatera dapat memanfaatkan momentum ini melalui dua pendekatan: pertama, mengisi celah pasokan yang ditinggalkan arabika di segmen menengah dan specialty melalui pengembangan fine robusta dengan mutu konsisten; kedua, memperkuat posisi sebagai pemasok utama industri kopi mass market, termasuk kopi kemasan dan soluble coffee, dengan dukungan luas lahan dan volume produksi yang besar. Strategi ini akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing kopi Sumatera di pasar global yang semakin kompetitif.
Menyikapi peluang dan potensi besar tersebut, Bank Indonesia turut mengambil peran dalam memperkuat daya saing kopi Sumatera, baik dari sisi hulu maupun hilir. Di sisi hulu, Bank Indonesia memberikan dukungan sarana pascapanen kepada klaster kopi binaannya, seperti peralatan pengolahan dan pengeringan untuk meningkatkan mutu biji kopi dan konsistensi kualitas produksi. Langkah ini bertujuan memperkuat fondasi produksi sehingga kopi Sumatera mampu memenuhi standar kualitas pasar global secara berkelanjutan. Di sisi hilir, Bank Indonesia memfasilitasi cupping coffee bagi UMKM unggulan agar dapat memenuhi standar specialty untuk ekspor ke segmen pasar premium. Selain itu, kantor-kantor Perwakilan Bank Indonesia di wilayah Sumatera juga secara konsisten menggelar business matching ekspor untuk membuka akses pasar internasional, mempertemukan petani dan UMKM dengan calon pembeli dari berbagai negara. Berbagai brewing competition dan kegiatan promosi turut digelar untuk memperkuat branding dan mendorong pelaku usaha naik kelas.



