Sawit Menyala: Ekspor CPO Sumatera Melejit Didorong Permintaan Dunia
Sumatera dikenal sebagai jantung industri kelapa sawit Indonesia. Lebih dari 60% perkebunan sawit nasional tersebar di pulau ini, menjadikannya motor utama produksi dan ekspor Crude Palm Oil (CPO). Dari hamparan perkebunan di Riau, Sumatera Utara, hingga Sumatera Selatan, mengalir jutaan ton CPO setiap tahunnya yang menjadi tulang punggung ekspor nonmigas Indonesia sekaligus sumber penghidupan bagi jutaan petani dan pekerja di daerah.
Memasuki paruh kedua tahun 2025, permintaan dunia terhadap CPO kembali menggeliat. Negara-negara mitra utama seperti Tiongkok, India, negara-negara ASEAN, Amerika Serikat, dan Pakistan meningkatkan pembelian untuk memenuhi kebutuhan industri pangan dan energi terbarukan. Lonjakan permintaan ini menjadi angin segar bagi Sumatera, yang kembali mencatat kinerja ekspor CPO yang melesat tajam.
Berdasarkan volume, ekspor CPO Sumatera melonjak 63,07% (yoy) pada Juli 2025 dan 27,03% (yoy) pada Agustus 2025. Hal ini menandai momentum kuat bagi industri sawit atas permintaan global. Kenaikan paling mencolok datang dari India, yang memperbesar pembelian CPO berkat harga sawit yang lebih kompetitif dibanding minyak kedelai. Para pengolah minyak di sana meningkatkan stok untuk menghadapi lonjakan konsumsi minyak goreng dan bahan baku produk pangan olahan menjelang perayaan Diwali.
Tak hanya India, peningkatan ekspor juga terjadi ke Tiongkok, Pakistan, dan Amerika Serikat, seiring tingginya kebutuhan bahan baku pangan dan energi (biofuel) di dalam negeri. Menariknya, ekspor CPO ke AS masih menikmati privilege karena belum terdampak tarif resiprokal AS 19% dan CPO masih termasuk dalam daftar komoditas yang sedang dinegosiasikan untuk pengecualian tarif.
Lebih dari sekadar mengejar volume ekspor CPO mentah, industri sawit Sumatera kini tengah bergerak ke level berikutnya yaitu era hilirisasi. Pergeseran tengah berlangsung dari dominasi produk turunan CPO ke-1 di sektor hulu, menuju produk turunan CPO ke-2 dan ke-3 yang berada di rantai nilai menengah hingga hilir. Transformasi ini tidak hanya terlihat dari sisi volume, tetapi juga dari nilai tambah yang dihasilkan.
Perubahan arah ini menjadi sinyal kuat bahwa sawit Indonesia sedang naik kelas. Negara ini tak lagi puas menjadi pemasok bahan mentah dunia, melainkan mulai menancapkan posisi sebagai produsen produk turunan bernilai tambah tinggi, mulai dari oleokimia (bahan baku sabun, kosmetik, hingga pelumas) hingga produk pangan olahan yang lebih kompleks. Dengan langkah ini, industri sawit nasional membuka jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, berdaya saing, dan bermanfaat lebih luas bagi masyarakat.
Menjelang akhir 2025 hingga 2026, sinar industri sawit Sumatera diperkirakan masih akan terus terang. Sejumlah faktor positif menjadi katalis penggerak utama, baik dari sisi permintaan domestik maupun global.
Di dalam negeri, kebutuhan minyak goreng dan implementasi biodiesel B40–B50 akan terus menjaga permintaan CPO tetap tinggi. Hilirisasi energi berbasis sawit menjadi penopang stabilitas pasar domestik sekaligus penyerapan produksi dari kebun rakyat hingga korporasi besar.
Dari luar negeri, permintaan global pun akan tetap kuat, terutama dari India, Tiongkok, Pakistan dan Uni Eropa.
Negeri Bollywood, misalnya, tengah memperluas program mandatori biodiesel dengan menargetkan blending 5% pada 2030 dan tender hingga 200 juta liter per kuartal pada tahun fiskal 2025/2026. Demikian pula Tiongkok, dengan kebijakan diversifikasi energinya, mensubstitusi impor minyaknya dari AS dengan biodiesel berbasis sawit. Di sisi lain, Pakistan dengan ketergantungan hingga 99% pada CPO untuk memenuhi kebutuhan minyak nabatinya, menempatkan pasokan CPO sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan nasional. Sementara itu, implementasi Indonesia–EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) berpotensi meningkatkan ekspor CPO ke uni eropa.
Dengan kombinasi faktor domestik yang solid dan pasar global yang tetap bergairah, sawit Sumatera benar-benar menyala dan kali ini cahayanya bukan sekadar dari angka ekspor, melainkan dari masa depan yang semakin berkelanjutan dan bernilai tinggi bagi Indonesia.
Disclaimer:
Tulisan ini disusun sebagai pandangan pribadi berdasarkan bahan bacaan dari berbagai sumber. Data ekspor diperoleh dari Bea Cukai, sementara informasi tambahan bersifat anekdotal diperoleh dari berbagai sumber kredibel, termasuk diskusi dengan GAPKI serta pelaku usaha terkait.



