Harga Turun, Kemiskinan di Depan Mata? Menilik Dampak dari Idiosyncratic Inflasi di Sumatera

Berdasarkan survei biaya hidup (SBH) tahun 2022, terdapat perubahan struktural pasca dilakukannya pendataan ulang inflasi di wilayah Sumatera. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis adanya penambahan 17 kabupaten sebagai wilayah rural dalam perhitungan inflasi di Sumatera. Provinsi Sumatera Utara mendapat penambahan daerah rural terbanyak sebagai sampel inflasi, yaitu sebanyak 3 kabupaten. Penambahan ini berdampak pada pangsa daerah urban sebagai sampel inflasi di Sumatera menurun di SBH 2022. Disampaikan BPS bahwa penambahan cakupan di wilayah rural dalam rangka lebih merefleksikan pola konsumsi di daerah tersebut. Perubahan ini juga memberikan kesempatan untuk mendalami faktor idiosyncratic dari inflasi di Sumatera secara spasial, tidak hanya antar daerah provinsi, namun juga antara urban dan rural.

Salah satu aspek yang selalu menjadi perhatian terkait inflasi adalah inflasi pangan, termasuk faktor idiosyncratic yang menyertai. Berdasarkan perbandingan inflasi pangan pasca Covid-19 (tahun 2022 hingga sekarang) dengan periode sebelum Covid-19 (2017 hingga 2019), kenaikan inflasi pangan terjadi baik di daerah urban maupun rural di Sumatera. Namun, hal ini tidak terjadi pada 2024 yang mana inflasi pangan di Sumatera tercatat di bawah inflasi pangan nasional. Penurunan harga pangan terutama didorong pasokan hasil panen  komoditas hortikultura yang melimpah.  Dengan fenomena penurunan inflasi pangan tersebut, perlu ditelaah bagaimana dampaknya pada kondisi kemiskinan di daerah rural Sumatera dari sisi petani produsen yang menerima penurunan harga jual, meski dikompensasi dengan turunnya pula harga yang dibayarkan. Hal ini tentunya berbeda dengan kondisi di daerah urban yang mana masyarakat konsumen akan diuntungkan dari penurunan inflasi pangan.

Dengan melihat korelasi, diperoleh konfirmasi adanya hubungan positif antara inflasi pangan di daerah rural dengan indeks yang diterima petani. Hal ini berarti  penurunan inflasi pangan di daerah rural menurunkan indeks yang diterima petani, sehingga berdampak pada turunnya pendapatan dan peningkatan kemiskinan. Selain itu, terdapat  korelasi negatif antara indeks yang diterima petani sebagai indikator pendapatan petani dengan pertumbuhan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa turunnya pendapatan petani akan berdampak langsung pada naiknya angka penduduk miskin di daerah rural. Scatter plot inflasi pangan  dan pertumbuhan penduduk miskin di daerah rural pada tahun 2024 mengonfirmasi hubungan negatif tersebut. ).

Menimbang indikasi hubungan kuat antara penurunan inflasi pangan  dengan peningkatan jumlah penduduk miskin di daerah rural, sejumlah implikasi kebijakan dapat direkomendasikan guna menahan kenaikan laju kemiskinan di daerah rural:

  1. Pengendalian inflasi pangan diperlukan baik di daerah urban maupun rural, namun dampaknya akan lebih terasa di daerah rural dalam konteks kesejahteraan.
  2. Ditengah gejolak inflasi pangan, diperlukan mekanisme buffer khususnya untuk masyarakat miskin di daerah rural, diantaranya melalui program bansos.
  3. Pada saat deflasi harga pangan juga diperlukan mekanisme buffer untuk menjaga level nilai tukar petani, diantaranya melalui subsidi pupuk, subsidi bbm, dan subsidi benih.
  4. Mendorong hilirisasi sektor pertanian guna menjaga nilai tukar petani di saat pasokan jauh lebih tinggi dibanding kebutuhan.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest
Inline Feedbacks
View all comments