Menguji Kemandirian Fiskal Daerah di Era Efisiensi dan Transformasi Digital

Pemangkasan anggaran kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun pada awal 2025 menandai perubahan arah kebijakan fiskal nasional. Pemerintah berupaya mengefisienkan belanja dan mengalihkan sebagian lainnya untuk program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Langkah ini, tentunya, membawa konsekuensi besar berupa menyusutnya ruang fiskal daerah. Dengan struktur pendapatan daerah yang masih didominasi TKD, banyak pemerintah daerah berpotensi kehilangan kemampuan membiayai program layanan publik. Kondisi ini menuntut kemandirian fiskal melalui optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) dan inovasi sumber penerimaan. 

Dalam konteks keterbatasan fiskal ini, digitalisasi penerimaan negara menjadi instrumen strategis, bukan sekadar modernisasi administrasi. Integrasi data lintas instansi, penggunaan pembayaran digital, serta pemanfaatan e-filing, e-form, dan big data membuka peluang untuk memperluas basis pajak, menutup kebocoran, dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Fakta bahwa dari 19,2 juta wajib pajak terdaftar hanya 14,2 juta yang aktif melaporkan SPT menunjukkan masih luasnya ruang optimalisasi penerimaan. Dengan penetrasi internet mencapai 79,5%, digitalisasi menjadi kunci memperkuat efektivitas sistem perpajakan dan memperkecil ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat.

 Lebih jauh, dukungan transformasi digital pada elektronifikasi transaksi pemerintah daerah, baik itu penerimaan maupun belanja, diharapkan memudahkan pelaksanaan kewajiban perpajakan di daerah sekaligus mendorong belanja pemerintah daerah lebih efisien. Artinya, digitalisasi bukan hanya memperbaiki tata kelola fiskal, tetapi juga memperkuat ekosistem ekonomi keuangan daerah.

Keberhasilan digitalisasi fiskal sepenuhnya bergantung pada keamanan siber dan kepercayaan publik. Ancaman terhadap data pribadi dapat menggerus legitimasi sistem dan menurunkan partisipasi fiskal masyarakat. Tanpa perlindungan data yang kuat, transformasi digital justru berisiko menciptakan paradoks baru: efisiensi teknologi yang melemahkan kepercayaan. Karena itu, penguatan keamanan digital dan tata kelola data publik harus menjadi prioritas setara dengan peningkatan pendapatan.

Pada akhirnya, efisiensi anggaran dan digitalisasi penerimaan negara bukanlah dua kebijakan terpisah, melainkan saling melengkapi. Keberhasilan yang satu membutuhkan keberhasilan yang lain dan keberhasilan keduanya akan menentukan arah kemandirian fiskal Indonesia: apakah efisiensi ini menjadi momentum menuju tata kelola keuangan yang adaptif dan berdaulat, atau sekadar penghematan jangka pendek yang memperdalam ketergantungan daerah terhadap pusat.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments