Potensi dan Tantangan Rumput Laut Sumatera: Emas Hijau yang Butuh Perhatian

Wilayah Sumatera memiliki garis pantai sepanjang lebih dari 14.000 km atau 14,2% dari garis pantai nasional. Dengan garis pantai sepanjang itu, terdapat potensi komoditas perikanan yang sangat besar untuk dapat dimanfaatkan, termasuk rumput laut. Sayangnya, meskipun memiliki garis pantai yang panjang, sebagian laut yang ada di wilayah Sumatera kurang cocok untuk budidaya rumput laut. Hal tersebut terutama disebabkan oleh adanya muara sungai-sungai besar yang membawa sedimen/endapan dari darat, sehingga tingkat salinitas air laut cenderung lebih rendah.
Produksi rumput laut di Sumatera cenderung mengalami tren peningkatan sejak tahun 2021 yang tercatat sebesar 6.753 ton menjadi 14.830 ton pada tahun 2023. Adapun 2 (dua) daerah utama penghasil rumput laut di Sumatera yakni Kepri dan Lampung. Meskipun demikian, produksi rumput laut Sumatera masih jauh tertinggal dari wilayah lainnya. Bandingkan saja, produksi rumput laut di wilayah Kalimantan dan Jawa masing-masing mencapai lebih dari 1 juta ton dalam setahun, di Balinusra mencapai lebih dari 2 juta ton, serta Sulampua yang menjadi penghasil utama rumput laut Indonesia mampu memproduksi lebih dari 5 juta ton. Share produksi rumput laut Sumatera pun tercatat hanya 0,15% dari nasional. Rata-rata harga jual rumput laut Sumatera juga cenderung lebih rendah dibandingkan wilayah lain, mengindikasikan adanya ketimpangan kualitas rumput laut yang dihasilkan.
Selain kondisi geografis, aspek cuaca dan iklim juga menjadi kendala pengembangan rumput laut. Produksi rumput laut masih belum dapat dilakukan secara konsisten sepanjang tahun, karena sangat terpengaruh dengan kondisi musim. Kondisi gelombang tinggi yang ekstrem berisiko menyebabkan gagal panen pada rumput laut, ditambah lagi dengan keterbatasan penggunaan bibit rumput laut unggul yang lebih tahan terhadap cuaca. Selain itu, proses pengeringan rumput laut yang masih dilakukan secara tradisional dengan mengandalkan sinar matahari juga berpotensi terganggu ketika cuaca sedang tidak mendukung. Masih terbatasnya akses terhadap pembiayaan menjadi tantangan untuk implementasi teknologi pengolahan rumput laut lebih lanjut. Kendala-kendala tersebut menyebabkan rumput laut masih dipandang sebagai komoditas sampingan bagi nelayan khususnya di wilayah Sumatera. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari 324.145 Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang ada di Sumatera, hanya 210 atau 0,06% yang fokus bergerak di komoditas rumput laut.
Padahal, potensi hilirisasi dari komoditas rumput laut terbilang sangat besar. Spesies rumput laut yang dikembangkan di Sumatera seperti Eucheuma cottonii (alga hijau), Eucheuma spinosum (alga merah), dan Sargassum sp. (alga coklat), dapat diolah menjadi bahan baku industri pendukung industri antara lain bioplastik, produk olahan susu, dessert, minuman, kosmetik, hingga farmasi. Nilai tambah yang dihasilkan juga cukup besar, di mana apabila mampu diolah menjadi produk pre-intermediate seperti Alkali Treated Cottoni/Spinosum Chips (ATCC/ATSC) dapat menghasilkan nilai tambah sebesar 2-5 kali lipat. Selanjutnya, apabila dapat diolah menjadi produk intermediate seperti Semi-Refined Caraagenan (SRC) dan Refine Caraagenan, nilai tambah yang dihasilkan meningkat menjadi 6-10 kali lipat.
Salah satu klaster binaan Bank Indonesia telah melakukan hilirisasi rumput laut pada tingkat awal, yakni Koperasi Moros Bina Pesisir yang ada di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Klaster tersebut bergerak dalam produksi rumput laut jenis Euchema cottonii yang lebih lanjut diolah menjadi gel kolagen sebagai bahan baku industri. Selain sebagai bahan baku industri, gel kolagen yang diproduksi klaster tersebut juga dapat dikonsumsi langsung sebagai produk kesehatan dan kecantikan, dan telah dipasarkan melalui platform digital. Lebih lanjut, klaster merencanakan untuk melakukan hilirisasi lanjutan dalam mengolah gel menjadi bubuk kolagen. Hal ini dapat menjadi pilot project untuk direplikasi pada kelompok-kelompok nelayan rumput laut lainnya.
Untuk memperkuat keberlanjutan pengembangan komoditas rumput laut, dibutuhkan model bisnis yang mampu menjawab tantangan dari sisi hulu ke hilir. Salah satu rekomendasi model bisnis yang dapat digunakan adalah dengan Proyek Kemitraan Terpadu (PKT). Model bisnis ini melibatkan perusahaan industri pengolahan atau eksportir rumput laut sebagai inti, nelayan rumput laut sebagai plasma yang tergabung dalam kelembagaan koperasi primer, serta perbankan yang berperan untuk pembiayaan. Seluruh pihak terikat dalam nota kesepakatan di mana perusahaan inti memberikan sarana produksi kepada nelayan plasma, kemudian plasma akan menjual hasil panennya kepada perusahaan inti. Dengan model bisnis ini, nelayan akan memiliki akses lebih mudah terhadap bibit unggul yang disediakan oleh perusahaan inti. Selain itu, implementasi teknologi untuk mendorong hilirisasi juga dapat dijalankan melalui dukungan pembiayaan yang kuat. Nelayan juga tidak perlu khawatir terkait jatuhnya harga jual rumput laut, karena skema penetapan harga telah disepakati di awal bersama perusahaan inti. Model bisnis ini diharapkan dapat meningkatkan minat nelayan untuk membudidayakan komoditas rumput laut sebagai emas hijau yang menyimpan berjuta potensi serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.