Menyesuaikan Output dengan Pasar: Jalan Tengah saat Permintaan Eksternal Batu Bara Melemah

Produksi batu bara Sumatera pada 2025 diproyeksikan meningkat seiring pembangunan infrastruktur logistik di sejumlah daerah sentra. Berdasarkan pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2024-2026, total rencana produksi batu bara dari Sumatera tercatat mencapai 225,50 juta ton. Namun, dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan teknis, kondisi logistik, perkembangan harga, dan permintaan global, realisasi produksi diperkirakan mencapai sekitar 70% dari rencana atau sekitar 157,85 juta ton. Proyeksi tersebut masih tumbuh sebesar 7,70% (yoy) dari realisasi produksi tahun sebelumnya yang sebesar 146,07 juta ton. Sejumlah pelaku usaha terkonfirmasi mulai masifnya pembangunan hauling road batu bara di sejumlah provinsi, seperti Sumsel, Jambi, dan Aceh. Mayoritas pembangunan jalur khusus batu bara terkonsentrasi di provinsi Sumatera Selatan sejalan dengan banyaknya cadangan batu bara dan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di daerah tersebut.
Namun, peningkatan produksi tersebut dihadapkan pada tantangan besar dari sisi harga global yang terus melemah. Menurut proyeksi World Bank dan beberapa analisis pasar, harga batu bara termal global diperkirakan turun sekitar 27% secara tahunan (YoY) pada 2025, dengan rata-rata harga diperkirakan mendekati US $100 per ton dan terus turun hingga 2026. Tren ini didorong oleh kelebihan pasokan, berlanjutnya upaya transisi energi di negara maju, dan berkurangnya pembelian spot oleh importir utama seperti Tiongkok dan India. Situasi ini tentu menekan margin usaha, terutama bagi penambang non-terintegrasi[1] dan produsen batu bara kalori menengah hingga rendah, yang kini juga harus bersaing dengan praktik dumping dari negara pesaing. Akibatnya, batu bara kalori menengah semakin kurang diminati di pasar global karena kalah bersaing dari sisi harga.
Dari sisi permintaan, sinyal pelemahan ekspor mulai terlihat menjelang akhir kuartal II 2025. Impor batu bara Indonesia per Mei 2025 oleh Tiongkok tercatat menurun sebesar 26% (yoy), disusul India yang juga mengalami penurunan sekitar 14% (yoy). Akumulasi ekspor batu bara Indonesia sepanjang Januari–Mei 2025 tercatat hanya 187 juta ton, turun sekitar 12% (yoy). Kondisi ini diperburuk oleh tingginya stok batu bara di pelabuhan utama Tiongkok dan di sejumlah PLTU India, yang menandakan adanya kejenuhan pasokan di pasar regional. Namun di level Sumatera, akumulasi ekspor ke India dan Tiongkok pada Jan-Mei 2025 tercatat masih tumbuh tipis sebesar 3,10% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal tersebut didukung oleh kontrak penjualan yang masih mengikat serta batu bara berkalori rendah yang masih dibutuhkan oleh negara mitra untuk kebutuhan PLTU.
Tekanan terhadap produksi semakin tinggi akibat kenaikan biaya yang dipicu oleh berbagai kebijakan dan regulasi di sektor energi. Kenaikan tarif royalti progresif, pemberlakuan HBA ekspor baru, kewajiban DHE SDA, serta implementasi biofuel pada sektor transportasi tambang telah meningkatkan beban operasional pelaku usaha. Selain itu, pembiayaan untuk sektor batu bara kian terbatas akibat pengetatan standar lingkungan (ESG) oleh lembaga keuangan. Meski demikian, efisiensi logistik yang mulai tercapai—khususnya melalui pengembangan jalur rel dan pelabuhan khusus di Sumatera Selatan—menjadi penopang penting dalam menahan laju kenaikan biaya.
Strategi penyesuaian output secara adaptif menjadi pilihan kebijakan yang rasional dan konstruktif. Pemerintah dan pelaku industri perlu mempertimbangkan penetapan kuota produksi fleksibel berbasis outlook ekspor dan kapasitas serapan dalam negeri. Selain itu, penguatan peran Domestic Market Obligation (DMO), pengembangan hilirisasi (seperti gasifikasi dan briket), serta evaluasi insentif fiskal bagi pelaku usaha yang responsif terhadap dinamika pasar akan menjadi alat penting dalam menjaga keseimbangan sektor. Dengan kombinasi antara kehati-hatian produksi dan efisiensi kebijakan, industri batu bara dapat menjaga daya saing tanpa mengorbankan keberlanjutan. Menahan laju ekspansi saat permintaan global melambat bukanlah kemunduran, melainkan bentuk kematangan industri dalam membaca arah pasar dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam nasional.
[1] Penambang non-terintegrasi mengacu pada perusahaan tambang yang hanya fokus pada kegiatan penambangan dan tidak memiliki rantai bisnis lanjutan seperti pengolahan, transportasi, atau pembangkit listrik sendiri.