Antara Chip dan Tarif: Mampukah Industri Elektronik Kepri Arungi Badai Amerika?

Mungkin tak banyak yang menyangka, sore hari yang cerah di Washington pada 2 April 2025 lalu ternyata berubah menjadi badai besar bagi perekonomian global dan perdagangan internasional. Kala itu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan apa yang ia sebut sebagai Tarif Resiprokal. Dengan papan peraga besar di tangannya, ia menunjukkan persentase pungutan yang akan ia kenakan terhadap negara-negara yang menjual barangnya ke negeri Paman Sam. Di papan itu, tepat di sebelah nama “Indonesia”, terpampang jelas angka 32% sebagai besaran tarif yang harus ditanggung oleh ekspor komoditas kita ke AS. Dengan ini, Kepri menjadi salah satu wilayah yang terdampak mengingat AS adalah negara tujuan utama ekspor non-migas Kepri khususnya untuk komoditas elektronik termasuk chip, semikonduktor, dan panel surya.
Babak Pertama: Trade War Jilid 1
Sebenarnya ini bukan kali pertama dari kebijakan Trump yang berdampak ke Kepri. Pada periode pertama menjabat sebagai Presiden AS (2016-2020), Trump mengenakan tarif terhadap barang impor asal Tiongkok yang memicu Trade War Jilid 1. Imbasnya, banyak pabrik elektronik dan semikonduktor dari Tiongkok melakukan relokasi ke beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, agar tidak terkena tarif impor ketika menjual produknya ke AS. Di Indonesia sendiri, Batam dipilih menjadi tujuan utama, karena lokasinya yang strategis serta kekhususan yang dimiliki sebagai Free Trade Zone (FTZ). Sejak saat itu, nilai ekspor komoditas elektronik Kepri ke AS pun meroket, dari US$ 211 juta pada tahun 2016 menjadi US$3,3 miliar, naik hampir 16 kali lipat. Hal ini tentu memberi dampak positif terhadap perekonomian Kepri khususnya di sektor industri, termasuk meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk serta memperluas serapan tenaga kerja di Kepri.
Babak Kedua: Munculnya Tarif Resiprokal
Pada era kedua ia menjabat, semangat America First nampak kembali digelorakan Trump, salah satunya melalui kebijakan Tarif Resiprokal yang ia cetuskan pada Liberation Day di tanggal 2 April lalu. Berbeda dengan Trade War Jilid 1, trump mengenakan tarif impor kepada lebih dari 180 negara di dunia. Tujuanya sederhana, ingin mengurangi defisit perdagangan AS dengan negara-negara lain. Namun dampaknya tidak sesederhana itu. Banyak negara kelimpungan, berlomba-lomba ingin bernegosiasi dengan Trump untuk memperoleh tarif yang ideal. Trump pun memerintahkan penundaan implementasi tarif selama 90 hari untuk memberi waktu negara-negara lain untuk bernegosiasi. Periode 90 hari penundaan ini dimanfaatkan para pelaku usaha untuk melakukan frontloading, yang tercermin juga dari data ekspor elektronik Kepri ke AS pada periode April-Mei yang tumbuh hingga 90% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini juga turut mendongkrak pertumbuhan ekonomi Kepri hingga mencapai 7,14% (yoy) pada triwulan II 2025, jauh di atas periode sebelumnya yang hanya 5,16% (yoy). Meskipun demikian, pertumbuhan ini diduga hanya sementara, karena begitu tarif diberlakukan, importir AS akan cenderung wait and see melihat berapa tarif yang dikenakan, dan mencari pasar yang paling menguntungkan, sehingga bukan tidak mungkin para pembeli dari AS tersebut akan beralih ke negara lain.
Strategi Indonesia dan Batam Hadapi Tarif
Pemerintah tidak tinggal diam menghadapi hal ini. Segera setelah pengumuman tarif resiprokal, tim delegasi yang dipimpin Menko Perekonomian RI langsung terbang ke AS untuk bernegosiasi. Berbagai penawaran disampaikan, termasuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia melalui pembelian sejumlah produk AS seperti komoditas energi (LPG, minyak mentah, dan bensin), produk agrikultur (gandum, kedelai, dan kapas), serta pesawat Boeing. Di Batam, berbagai strategi juga dilakukan, antara lain memperkuat hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah industri ekspor, mendiversifikasi pasar dan memperluas kemitraan global, serta reformasi iklim investasi dan insentif pro-bisnis, seperti golden visa, penyederhanaan perizinan dan pembentukan Desk Investasi, sejalan dengan optimalisasi status FTZ dan diplomasi pusat dalam merespons tekanan tarif AS.
Injury Time Trump
Mendekati masa penangguhan 90 hari berakhir, tepatnya di tanggal 7 Juli, Trump sempat mengumumkan bahwa tarif resiprokal untuk RI tetap di 32%, sama seperti pada saat Liberation Day. Setelah diskusi yang alot antara kedua negara, akhirnya tercapai kesepakatan bahwa tarif impor yang dikenakan AS terhadap barang-barang dari Indonesia diturunkan menjadi 19%. Penurunan ini cukup berhasil menciptakan level playing field antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN yang mayoritas juga memperoleh tarif yang sama. Ini berarti, faktor tarif seharusnya bukan menjadi alasan produk Indonesia khususnya komoditas elektronik dari Kepri untuk kalah bersaing dari negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
The Aftermath: Prospek Ekspor Elektronik Kepri ke AS
Lantas, bagaimana prospek ekspor elektronik Kepri ke depannya? Adanya penurunan tarif cenderung mengindikasikan dampak kebijakan ini tidak akan semengerikan yang ditakutkan sebelumnya. Hambatan tarif ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, tapi juga sebagian besar negara-negara di dunia.
Lebih lanjut, AS sendiri juga sudah melirik Indonesia khususnya Batam sebagai salah satu mitra utama untuk pengembangan industri elektronik, dalam hal ini panel surya. Hal ini terlihat dari masuknya sejumlah perusahaan AS di Green Renewable Energy & Smart Eco-Industrial Park (GESEIP) Wiraraja, Batam, dengan nilai investasi mencapai US$ 640 juta, jumlah yang tidak sedikit. Komitmen tersebut menunjukkan bahwa hubungan kerja sama antara Batam dan AS di bidang industri elektronik masih akan terjalin dengan kuat, sehingga aliran ekspor dari Batam ke AS pun masih akan berlanjut. Selain itu, tren global yang semakin mengarah ke produksi dan investasi energi hijau dan energi terbarukan seperti panel surya juga turut menambah daya tarik Batam untuk investasi dan pengembangan ekspor ke AS serta pasar dunia.
Meskipun demikian, di luar tantangan tarif, Batam masih perlu berbenah dari tantangan internal lainnya. Penguatan kemudahan birokrasi perizinan, stabilisasi harga energi khususnya listrik dan gas industri, keterbatasan pengembangan lahan kawasan industri, hingga berbagai insentif kepada investor perlu dilakukan untuk memperkuat posisi Batam menuju top of mind pengembangan supply chain elektronik global. Dengan sinergi dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat, daerah, hingga pelaku industri, Batam masih akan mampu berdiri tegak sebagai salah satu bagian dari rantai pasok elektronik dunia.