Efisiensi Anggaran Bukan Berarti Mematikan Aktivitas Ekonomi

Langkah pemerintah melakukan efisiensi anggaran sejak awal 2025 melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 patut diapresiasi. Tujuannya jelas, menciptakan ruang fiskal bagi program-program unggulan pemerintahan baru seperti makan bergizi gratis (MBG), penguatan ketahanan pangan, dan reformasi layanan dasar. Perlu diingat, efisiensi bukan sekadar memblokir anggaran, melainkan bagaimana belanja publik dialihkan secara produktif dan adil. Sayangnya, di lapangan, yang terjadi justru stagnasi fiskal dan pelemahan ekonomi riil, terutama di sektor jasa dan UMKM daerah.
Efisiensi dilakukan terlalu cepat, disaat program yang menjadi flagship,misalnya MBG masih prematur. Hingga pertengahan tahun ini, MBG baru terealisasi sebagian kecil terutama di luar Jawa. Pemerintah memang telah membuka kembali blokir anggaran sebesar Rp134,9 triliun untuk 99 kementerian/lembaga. Namun, rendahnya kapasitas eksekusi, lambannya birokrasi teknis, dan koordinasi yang belum solid menyebabkan belanja prioritas belum memberikan efek dorong terhadap ekonomi.
Di sisi lain, sektor yang selama ini menjadi mata rantai pertumbuhan konsumsi—seperti Akomodasi, Makanan, dan Minuman (Akmamin)—justru terpukul keras akibat penghapusan kegiatan perjalanan dinas, rapat, dan MICE. Di Sumatera, penurunan omzet sektor ini mencapai 40–60%, sementara okupansi hotel jatuh drastis akibat absennya kegiatan pemerintah. Padahal, bagi banyak daerah di luar Jawa, belanja negara adalah satu-satunya denyut utama ekonomi lokal.
Bandingkan dengan Jawa, meski ikut terdampak, masih mampu bertahan karena memiliki pasar yang lebih terdiversifikasi, ada wisatawan umum, sektor swasta, hingga platform digital. Ketimpangan dampak ini menunjukkan bahwa efisiensi anggaran, jika tidak disertai afirmasi fiskal untuk wilayah rentan, justru memperlebar kesenjangan pertumbuhan antardaerah.
Maka, pelajaran pentingnya adalah: efisiensi fiskal tidak bisa dipandang sebagai sekadar penghematan, melainkan lebih pada reposisi fiskal. Artinya, pemerintah perlu membuka kembali belanja operasional strategis yang berdampak luas (seperti MICE berbasis lokal), mempercepat realisasi belanja prioritas, serta memberi insentif bagi daerah dan pelaku usaha yang terdampak. Tanpa itu, risiko perlambatan pemulihan ekonomi yang baru saja bangkit pasca pandemi semakin nyata.
Menjaga defisit dan kredibilitas fiskal memang penting. Tapi jangan sampai dalam prosesnya, mengurangi aliran darah ke perekonomian. Efisiensi tanpa strategi justru berbiaya mahal dalam bentuk kontraksi konsumsi, pengangguran terbuka, hingga turunnya optimisme dunia usaha.