Peluang Indonesia di Tengah Ketergantungan India terhadap Impor Karet Alam

Di tengah ketegangan geopolitik global dan dinamika ekonomi pascapandemi, rantai pasok bahan baku menjadi isu strategis yang terus mengemuka. Salah satu komoditas penting yang kini kembali menjadi sorotan adalah karet alam, khususnya dalam kaitannya dengan hubungan dagang antara India dan Indonesia.
India, yang dikenal sebagai raksasa manufaktur di Asia, saat ini menjadi konsumen terbesar keempat secara global. Lonjakan konsumsi domestik, terutama dari sektor otomotif dan industri ban, membuat pasokan dalam negeri kewalahan.
Dalam dua tahun terakhir, India mencatatkan kenaikan produksi karet alam sebesar 8,6%, dari 7,89 lakh ton pada 2021–2022 menjadi 8,57 lakh ton pada 2023–2024. Namun konsumsi domestik yang terus tumbuh membuat negara ini mengalami defisit pasokan sebesar 13,5%, yang diperkirakan akan membengkak menjadi 14,1% pada 2025.
Kesenjangan inilah yang mendorong India bergantung pada impor, dengan Indonesia sebagai salah satu mitra utama. Pada tahun 2023, India mengimpor lebih dari 224 ribu ton karet alam dari Indonesia, menjadikannya salah satu pasar ekspor terbesar bagi komoditas ini. Tetapi, apakah peran Indonesia hanya akan berhenti sebagai pemasok bahan mentah? Di sinilah seharusnya kita mulai mengubah paradigma.
Peluang Strategis di Tengah Ketergantungan India
India membutuhkan karet, dan kebutuhan ini akan terus tumbuh. Sekitar 70% konsumsi karet alam India digunakan untuk industri ban—sektor yang mengalami pertumbuhan stabil seiring naiknya permintaan kendaraan bermotor. Konsumsi bulanan karet di India diperkirakan stabil di kisaran 112.000 hingga 123.000 ton, dengan puncaknya pada September 2025 mendatang.
Namun tantangannya tidak kecil. India menerapkan tarif bea masuk karet alam sebesar 25% atau sekitar Rs 30 per kg. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi produsen dalam negeri. Tapi yang menarik, produk olahan dari karet seperti sepatu, sarung tangan, balon, bahkan produk semi-jadi justru dikenakan tarif yang jauh lebih rendah, bahkan hanya 10%.
Dari sinilah seharusnya Indonesia melihat peluang lebih besar: bukan sekadar mengekspor bahan mentah, tetapi masuk ke pasar India melalui produk-produk hilirisasi yang bernilai tambah lebih tinggi dan tarif yang lebih bersahabat, ditambah terdapat kebijakan baru dari AS terkait dengan pengenaan tarrif.
Meningkatkan Daya Saing, Menembus Pasar Bernilai Tinggi
Indonesia memiliki potensi besar di sektor karet. Namun hingga kini, sebagian besar ekspor masih didominasi oleh bentuk bahan mentah atau setengah jadi sehingga menyebabkan orientasi karet di Indonesia 80-85% untuk ekspor dibandingkan dengan pasar domestik. Padahal, dengan membangun industri hilir karet—seperti ban kendaraan, sarung tangan medis, alas kaki, dan produk industri lainnya—Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan nilai ekspor, tetapi juga membuka lapangan kerja, meningkatkan penerimaan pajak, dan memperkuat daya saing nasional.
Kondisi pasar India juga membuka ruang untuk peningkatan negosiasi dagang bilateral, termasuk kemungkinan untuk mendapatkan perlakuan tarif preferensial. Dalam konteks ini, peran pemerintah sangat penting, terutama dalam mengupayakan perjanjian dagang yang lebih menguntungkan melalui skema FTA (Free Trade Agreement) atau CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement).
Tak kalah penting, perbaikan infrastruktur industri karet dalam negeri perlu menjadi prioritas. Investasi dalam teknologi pengolahan, peningkatan produktivitas petani karet, dan penguatan rantai pasok domestik adalah fondasi yang harus dibangun untuk bisa masuk ke pasar ekspor bernilai tinggi secara berkelanjutan.
India adalah mitra penting bagi Indonesia dalam perdagangan karet. Namun peran Indonesia tak seharusnya berhenti sebagai pemasok bahan mentah. Kebutuhan yang terus meningkat dari pasar India harus dilihat sebagai peluang strategis untuk memperluas ekspor, mendorong hilirisasi, dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Dalam dunia yang semakin kompetitif, kecepatan bertindak menjadi kunci. Jika Indonesia tidak segera meningkatkan kapasitas industrinya dan memperbaiki ekosistem ekspor, peluang ini bisa dengan mudah diambil oleh negara pesaing seperti Vietnam, Thailand, atau Malaysia. Kini saatnya Indonesia mengambil langkah berani: bukan hanya mengisi kekosongan pasar India, tetapi menjadi mitra dagang yang kuat, adaptif, dan bernilai tinggi.