Perkebunan Karet Sumatera dan Tantangan EUDR: Peluang di Tengah Isu Deforestasi

Perkebunan karet Sumatera mengalami banyak tantangan di tengah harga yang meningkat di tahun 2024 lalu. Namun, peningkatan harga yang telah ditunggu-tunggu oleh petani sejak lama, tidak cukup untuk mendorong produktivitas perkebunan karet Sumatera. Sektor Perkebunan tentunya tidak terlepas dari isu deforestasi terutama di Sumatera yang sering kali terjadi pembakaran hutan untuk pembukaan lahan perkebunan. Isu deforestasi tersebut juga menjadi concern bagi negara lain seperti Uni Eropa yang mengeluarkan kebijakan EU Deforestation Regulation (EUDR) untuk mengatasi dampak negatif dari konsumsi global terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Kebijakan ini bertujuan memastikan bahwa produk yang diimpor ke Uni Eropa tidak terkait dengan deforestasi, baik legal maupun ilegal, di negara asalnya termasuk Indonesia yang masuk ke dalam lima negara importir terbesar Eropa.

Kebijakan EUDR mengatur due diligence terhadap produk yang akan diimpor dengan tujuan untuk melindungi hutan dunia, mendorong produksi yang berkelanjutan, serta menjamin bahwa produk yang dibeli oleh Uni Eropa tidak merusak hutan. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong tata kelola hutan yang lebih baik, terutama di negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis. Lalu, bagaimana dengan kesiapan Indonesia khususnya perkebunan karet Sumatera untuk menghadapi kebijakan deforestasi tersebut di tahun 2025? Mari kita lihat permasalahan yang terdapat pada perkebunan karet di Sumatera terlebih dahulu.

Perkebunan rakyat masih mendominasi hingga 80% dari total kepemilikan perkebunan karet di Sumatera sehingga masih banyak kebun belum memiliki sistem pelacakan yang jelas. Lahan yang tidak memiliki sistem tracebility tersebut menyebabkan sulitnya pemerintah atau pihak terkait dalam melakukan sertifikasi lahan bebas deforestasi karena tidak bisa diketahui pasti asal usul pembebasan lahannya. Selanjutnya, terdapat keterbatasan teknologi dan data menyebabkan minimnya akses ke infrastruktur seperti fasilitas pemrosesan modern dan teknologi untuk pelacakan rantai pasok menjadi hambatan besar untuk memenuhi salah satu uji tuntas dari EUDR. Kemudian, masih banyak fragmentasi pada lahan perkebunan karet dimana sebagian besar perkebunan karet di Sumatera berukuran kecil dan tersebar. Adanya Perkebunan “jungle rubber” yaitu karet ditanam bersama dengan tanaman lainnya seperti buah-buahan sehingga sulit untuk memastikan apakah kebun tersebut atau tanaman lainnya bebas dari deforestasi. Fenomena tersebut juga menagkibatkan pengawasan dan implementasi standar keberlanjutan menjadi lebih sulit. Sistem zonasi hutan di Indonesia yang membagi antara kawasan hutan dan non hutan masih banyak yang belum mencerminkan tutupan lahan yang sebenarnya dimana sistem tersebut tidak sesuai dengan persyaratan EUDR.

Di sisi lain, sudah terdapat dua perusahaan pengolah karet di Sumatera yang berhasil melakukan ekspor karet alam berkelanjutan sesuai dengan regulasi EUDR di tahun 2024 yaitu PT. Perkebunan Nusantara IV dan PT. Kirana Megatara. Keberhasilan tersebut merupakan lampu hijau bagi perusahaan lainnya untuk dapat mengikuti jejak dalam mendorong ekspor berkelanjutan ke Uni Eropa. EUDR merupakan langkah yang dikeluarkan oleh Uni Eropa untuk memerangi deforestasi dan isu perubahan iklim. Kabar baiknya, implementasi dari EUDR diundur hingga satu tahun yaitu 30 Desember 2025, dan 30 Juni 2026 untuk UMKM.  Meski kebijakan tersebut menimbulkan banyak kontroversi dari berbagai negara pengimpor,  masih terdapat peluang untuk Indonesia menjawab tantangan serta memperbaiki tata kelola hutan sehingga dapat menciptakan rantai pasok yang lebih berkelanjutan.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments