Potensi Ekspor Oleochemical sebagai Upaya Mendorong HIirisasi Industri Sawit di Sumatera

Saat ini wilayah Sumatera merupakan wilayah penghasil minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar di Indonesia, dengan kapasitas produksi sebesar 25,7 juta ton per tahun atau sebesar 51,74% dari total produksi nasional. Tidak hanya itu, wilayah Sumatera juga memiliki kapasitas kilang atau refinery pengolahan dengan kapasitas terbesar di Indonesia sebesar 27,72 juta ton per tahun, dengan rata-rata tingkat utilisasi selama 2 tahun terakhir sebesar 80,42%. Kedua hal ini memposisikan wilayah Sumatera sebagai pusat industri CPO dan dan pengolahan produk turunan CPO di Indonesia.

Pada tahun 2024 dari total produksi CPO Sumatera, sekitar 69,53% diantaranya diekspor ke luar negeri, atau sejumlah 17,87 juta ton. Sebagian besar dari ekspor tersebut merupakan dalam bentuk RDBPO (Refined Deodorized Bleached Palm Oil) yang merupakan produk antara (Midstream) olahan CPO. Produk RDBPO ini merupakan bahan dasar untuk produk hilir turunan CPO (Downstream) seperti produk Oleofood (minyak goreng kemasan dan margarin), Oleochemical (Sabun, Kosmetik, Sufraktan, Pelumas, Gliserol), dan Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester).

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenprin), kenaikan nilai tambah RDPO hanya sekitar 1,1 kali lipat dari harga CPO. Hal ini berbanding jauh dengan kenaikan nilai tambah produk hilir (Downstream), khususnya produk Oleochemical yang mengalami kenaikan nilai tambah hingga 3,3 kali lipat dari harga CPO. Peningkatan nilai pada produk hilir menujukkan bahwa, terdapat potensi bagi industri sawit Sumatera untuk dapat meningkatkan nilai ekspornya hingga 3,3 kali lipat, apabila industri sawit Sumatera dapat melakukan hilirisasi dan re-shifting produksi dari produk antara (Midstream) ke produk hilir (Downstream).

Untuk mewujudkan potensi ekspor produk Oleochemical di Sumatera, diperlukan implementasi berbagai strategi yang komprehensif. Pertama, peningkatan investasi di sektor hilir sawit harus terus didorong. Penanaman modal baru, baik dari investor domestik maupun asing, akan memperluas kapasitas produksi oleokimia di wilayah Sumatera. Misalnya, ekspansi industri oleokimia di Dumai, Provinsi Riau terjadi berkat investasi dua perusahaan yang mencapai total sekitar Rp5,9 triliun pada tahun 2017–2018. Langkah ini turut mengerek volume ekspor oleokimia nasional dari sekitar 1,8 juta ton (senilai US$1,53 miliar) pada 2017 menjadi sekitar 2,8 juta ton (US$2,38 miliar) di 2018, menunjukkan dampak positif hilirisasi.

Kedua, penguatan infrastruktur logistik juga krusial. Pembangunan sarana transportasi dan pelabuhan di sentra-sentra produksi sawit Sumatera akan memperlancar arus ekspor. Contohnya, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei di Sumatera Utara dengan total nilai investasi sebesar Rp10,5 triliun dan difasilitasi jalur kereta api sepanjang 30 km yang terhubung langsung ke Pelabuhan Kuala Tanjung​. Integrasi infrastruktur seperti ini dapat menekan biaya logistik dan mempercepat pengiriman produk oleokimia ke pasar global.

Di samping itu, promosi perdagangan internasional perlu digencarkan untuk meningkatkan akses pasar bagi produk oleokimia Sumatera. Pemerintah dan pelaku industri dapat berkolaborasi mengadakan konferensi, mengikuti pameran perdagangan, dan memperkuat hubungan dagang ke negara-negara tujuan utama ekspor. Sebagai contoh, pada tahun 2022 ekspor oleokimia Indonesia mencapai US$5,4 miliar dengan volume 4,2 juta ton​, dengan pasar utamanya mencakup Tiongkok, India, dan negara-negara Uni Eropa. Angka ini menunjukkan besarnya permintaan global yang dapat dimanfaatkan melalui promosi yang tepat. Upaya penetrasi pasar non-tradisional juga dilakukan, misalnya dengan memanfaatkan ajang seperti Indonesia Trade Expo untuk menarik minat pembeli dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika​. 

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi juga dapat menjadi pilar strategi berikutnya. Industri oleokimia membutuhkan tenaga kerja terampil serta inovasi teknologi proses agar dapat menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Program vokasi dan pelatihan di bidang kimia serta kemitraan dengan lembaga riset perlu diperkuat untuk menciptakan inovasi produk baru.

Kendati demikian, industri oleochemical di Sumatera juga menghadapi berbagai tantangan utama yang harus diatasi. Dari sisi regulasi, pelaku industri kerap dihadapkan pada ketidakpastian hukum dan tumpang tindih kebijakan antar kementerian. Inkonsistensi regulasi ini dapat menghambat iklim investasi dan memperlambat adaptasi industri terhadap standar global. Sebagai contoh, rencana peninjauan ulang tata ruang yang berpotensi mengonversi 2,6 juta hektar perkebunan sawit telah menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya pasokan bahan baku dan menurunnya kinerja ekspor.

Keterbatasan teknologi dan inovasi juga menjadi tantangan nyata. Hingga saat ini Indonesia baru mampu memproduksi sekitar 32 jenis produk oleokimia dasar dan turunan, jauh lebih sedikit dibandingkan Malaysia yang telah menghasilkan sekitar 120 jenis produk. Kesenjangan ini menunjukkan perlunya peningkatan litbang untuk diversifikasi produk, agar Sumatera tidak hanya mengekspor fatty acid atau fatty alcohol dasar, tetapi juga produk turunan lain dengan nilai tambah lebih tinggi. Di samping itu, fluktuasi harga bahan baku CPO di pasar dunia memengaruhi stabilitas industri.

Tantangan berikutnya adalah isu lingkungan. Industri oleokimia Sumatera tidak terlepas dari sorotan terkait dampak lingkungan perkebunan sawit. Regulasi baru di Uni Eropa berupa European Union Deforestation Regulation (EUDR), bahkan mengharuskan eksportir memastikan produknya bebas dari deforestasi dan dapat ditelusuri rantai pasoknya. Tekanan ini menuntut perusahaan oleokimia di Sumatera untuk mengadopsi praktik perkebunan berkelanjutan serta memenuhi standar sertifikasi seperti ISPO dan RSPO. Dengan demikian, komitmen terhadap sustainability menjadi syarat mutlak agar produk oleokimia Sumatera dapat terus diterima dan bersaing di pasar internasional yang kian peduli lingkungan.

Dengan penerapan strategi-strategi di atas secara konsisten dan upaya mitigasi terhadap berbagai tantangan tersebut, Sumatera berpeluang menjadi pusat industri oleokimia berdaya saing global. Hilirisasi industri sawit melalui ekspor oleochemical tidak hanya akan meningkatkan nilai tambah ekonomi regional, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam rantai pasok oleokimia dunia.

 

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments