Prospek Permintaan Batu Bara Sumatera di Tengah Tantangan Net Zero Emission (NZE)
Batu bara merupakan komoditas ekspor pertambangan disamping migas, yang berkontribusi signifikan terhadap kinerja ekonomi nasional. Ekspor batu bara Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 518 juta ton yang ditujukan utamanya ke Tiongkok, India, dan beberapa negara di Asia. Adapun kontribusi sektor pertambangan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sekitar 8.9%, di mana 3.5% tercatat berasal dari sektor batubara. Serapan tenaga kerja di sektor batu bara juga cukup besar, yakni sekitar 200 ribu pekerja yang bekerja secara langsung di sektor ini. Pada tahun 2023, produksi batu bara nasional disumbang utamanya oleh Kalimantan sebesar 81,81%, disusul Sumatera sebesar 18,15%, dan gabungan Sulawesi-Maluku-Papua sebesar 0,04%.
Sebagai salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia, Indonesia juga mengandalkan sektor ini untuk menyuplai kebutuhan energi domestik. Hingga saat ini, batu bara masih menjadi sumber energi primer dari pembangkit listrik. Disamping sebagai sumber pembangkit energi listrik tenaga uap (PLTU), batu bara juga digunakan sebagai bahan baku penghasil panas untuk industri (semen dan pupuk), serta sebagai bahan bakar dan reduktor di industri smelter. Kebutuhan domestik batu bara sebagai sumber energi primer diproyeksikan tetap tinggi, di tengah ekspansi kinerja perekonomian yang terus didorong untuk mencapai Indonesia Emas 2045 (pertumbuhan di atas 7%).
Di masa mendatang, industri batu bara menghadapi tantangan struktural dengan adanya upaya transisi ke energi baru terbarukan (EBT) terutama di global untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE). Sebagai negara tujuan ekspor utama batu bara baik Kalimantan maupun Sumatera, Tiongkok cukup agresif mengembangkan energi terbarukan, seperti gas, tenaga surya, dan tenaga air. Hal tersebut turut dilatarberlakangi oleh pertimbangan atas ketahanan energi dari batu bara yang diprakirakan hanya dapat bertahan sampai dengan 32 tahun ke depan. Konsidi ini dianggap cukup rentan dibandingkan dengan ketahanan energi negara Australia (334 tahun), Amerika Serikat (448 Tahun), dan India (93 Tahun).
Ekspor batu bara pulau Sumatera ke Tiongkok yang cukup signfikan, berpotensi melemah dalam jangka menengah panjang. Pada 2023, pangsa ekspor batu bara Sumatera ke Tiongkok mencapai hampir 35% (sekitar 25 juta ton), disusul India sekitar 31%. Dalam perkembangan terakhir hingga Semester I 2024, kinerja ekspor batu bara Sumatera ke Tiongkok terus melambat, sejalan dengan upaya mendorong NZE melalui peningkatan kapasitas energi terbarukan dan peningkatan produksi domestik melalui perbaikan jalur logistik kereta api. Pasokan energi terbarukan Tiongkok meningkat terutama dari sumber pembangkit hydropower. Prospek permintaan batu bara dari Tiongkok pada 2025 juga diprakirakan melambat, sejalan dengan dorongan pada transisi energi terbarukan. India sebagai tujuan ekspor batu bara terbesar setelah Tiongkok juga sedang mengupayakan peningkatan produksi domestik untuk mengurangi impor. Prospek permintaan batu bara dari India juga diproyeksikan menurun upada 2025.
Transisi menuju EBT menuntut stakeholders baik di level nasional maupun regional untuk mengantisipasi dampak kebijakan pengurangan emisi dan pembatasan komoditas tidak ramah lingkungan (salah satunya batu bara) terhadap perekonomian. Untuk tetap dapat mengoptimalkan sumber daya batu bara, perlu didorong upaya hiliriasi komoditas batu bara. Hal ini dapat dilakukan dengan mendukung research & development (RnD), mempermudah iklim investasi dan pembiayaan, serta aturan/pedoman teknis terkait sustainibility yang mendukung. Ke depan, dimana tidak akan ada PLTU baru lagi yang dibangun, produksi batu bara dapat diserap untuk kebutuhan hilirisasi yang bernilai tambah tinggi.