Meninjau Potensi Pengembangan Energi Surya Dalam Pemenuhan Domestik dan Kebutuhan Ekspor

Sumatera memiliki potensi besar dalam pengembangan PLTS dengan intensitas radiasi matahari yang tinggi sepanjang tahun. Dengan pengukuran sekitar 4–5,5 kWh/meter per hari, Kementerian ESDM mencatat adanya potensi tenaga surya sebesar 207,8 GWp, yang mana wilayah Sumatera menyumbang porsi signifikan dari estimasi tersebut. Potensi EBT dimaksud dapat mendukung program strategis Asta Cita untuk mencapai swasembada energi. Namun demikian, saat ini pemanfaatan PLTS masih jauh dari kondisi optimal. Tantangan infrastruktur, perizinan, dan investasi awal yang tinggi masih menjadi hambatan utama. Sementara itu, kebijakan dan insentif untuk mempercepat pengembangan PLTS juga masih dalam tahap konsolidasi.

Dari sisi kebutuhan, permintaan energi bersih dari sektor industri dalam negeri semakin meningkat. Banyak industri besar, terutama di sektor manufaktur, pertambangan serta yang berorientasi ekspor, dituntut untuk menurunkan jejak emisi karbon. Hal ini telah banyak didukung oleh regulasi seperti carbon pricing, sertifikasi produk hijau, dan tentunya proyek EBT. Dengan penggunaan energi bersih, prospek perluasan ekspor ke pasar alternatif diluar negara mitra dagang juga akan terbuka.

Banyak negara tujuan ekspor Indonesia, terutama di Eropa dan Asia Timur, telah menerapkan kebijakan yang mewajibkan produk impor memiliki jejak emisi karbon rendah. Salah satu diantaranya adalah adopsi dari Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa. Jika produk ekspor dari Indonesia, termasuk dari Sumatera tidak menggunakan energi bersih, maka akan terkena biaya karbon tambahan yang selanjutnya dapat menurunkan daya saing. Pengembangan PLTS di Sumatera tidak hanya terkait ketahanan energi lokal, tapi juga bagian dari solusi ketahanan energi maupun ekonomi secara nasional. Sumatera memiliki modal untuk bertransformasi menjadi pusat energi hijau untuk industri strategis seperti kelapa sawit/CPO, karet, kertas, logam, dan hasil tambang lainnya.

Di tengah dorongan global untuk energi bersih, Amerika Serikat justru menunjukkan sinyal perlambatan dalam komitmennya terhadap energi terbarukan. Hal ini terutama setelah adanya tekanan politik dalam negeri dari kebijakan Trump. Beberapa kebijakan insentif untuk energi hijau mulai dipangkas atau ditunda. Selain itu, terdapat peningkatan subsidi untuk bahan bakar fosil sebagai bagian dari kebijakan federal, yang  memperlihatkan langkah mundur dari transisi energi. Situasi ini membuka peluang strategis bagi kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk mengisi kekosongan dalam kepemimpinan dalam mendorong pengembangan energi terbarukan ;di global. Sumatera, dengan keunggulan geografis dan potensinya, dapat menjadi pusat percontohan pengembangan energi hijau regional dan bahkan internasional, terutama jika didukung oleh investasi dan kebijakan yang tepat.

Selain mendukung pengembangan industri hijau di domestik, pemanfaatan energi terbarukan berlebih juga membuka potensi ekspor ke luar negeri. Di kawasan Asia Tenggara, Singapura tercatat sebagai negara yang sudah berkomitmen untuk melakukan shifting ke EBT dengan cukup agresif. Sampai dengan tahun 2030, Singapura berencana untuk mengimpor 6 (enam) GW listrik terbarukan dari negara tetangganya. Momen ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menambah cadangan devisa negara melalui ekspor listrik EBT dari Sumatera.

Dengan melihat prospek permintaan energi hijau baik dari dalam maupun luar negeri, serta perubahan geopolitik energi dunia, Sumatera memiliki posisi sentral. Pengembangan PLTS bukan hanya solusi untuk memperluas akses listrik dan mengurangi emisi, tapi juga bagian dari strategi nasional untuk menjaga daya saing ekonomi Indonesia di pasar global. Daerah Kepulauan Riau sangat cocok dijadikan pilot project, dikarenakan masuk dalam daerah bebas gempa dan disinari cahaya matahari sepanjang tahun, yang merupakan prasyarat untuk pembangunan PLTS.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments