Tren Alih Fungsi Lahan Sebagai Sinyal Redupnya Industri Karet Sumatera
Kekuatan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil karet alam terbesar di dunia menghadapi tantangan yang tidak mudah saat ini. Pangsa ekspor Indonesia mencapai 25,85% terhadap total ekspor karet dunia pada 2023, terus menurun dari semenjak berakhirnya boom komoditas pada 2011-2012. Produktivitas karet alam Indonesia juga dalam tren menurun dalam 5 tahun terakhir. Di tengah penurunan daya saing ekspor dan produktivitas tersebut, saat ini Indonesia dihadapkan pada isu yang lebih krusial terkait dengan prospek produksi karet alam ke depan, yakni dari tren alih fungsi lahan. Petani lebih memilih untuk mengkonversikan lahan perkebunan karet ke komoditas lainnya yang memiliki nilai jual lebih tinggi seperti kelapa sawit dan tebu. Tren tersebut turut dipengaruhi oleh pelemahan harga komoditas karet akibat excess supply setelah mencatatkan level harga yang tinggi pada periode tahun 2000an, yang hingga menimbulkan fenomena “rubber boom” dengan tingginya permintaan di global.
Masifnya alih fungsi lahan menjadi salah satu masalah utama pada industri karet nasional. Alih fungsi lahan menyebabkan luas lahan produktif semakin menurun yang berdampak pada semakin turunnya produksi karet alam secara nasional maupun di Sumatera. Produksi karet Sumatera sendiri cenderung menurun semenjak tahun 2019, yang berakibat pada kelangkaan bahan baku olah karet di sisi industri pengolahan karet. Kelangkaan tersebut menyebabkan peningkatan volume impor bahan baku serta setidaknya 53 dari 152 pabrik crumb rubber berhenti beroperasi . Selain harga komoditas karet yang kurang kompetitif, permasalahan peremajaan tanaman karet serta penyakit gugur daun yang tidak kunjung teratasi juga memengaruhi keputusan petani dalam melakukan konversi lahan karet ke komoditas lainnya.
Fenomena alih fungsi lahan perlu ditindaklanjuti dengan serius oleh para pemangku kebijakan. Sejumlah kebijakan dapat diambil untuk mengatasi berlanjutnya tren alih fungsi lahan, diantaranya penguatan kebijakan dalam mendorong harga karet domestik. Hal ini dapat dilakukan dengan salah satunya pemberian subsidi pembiayaan kepada petani karet, agar mendorong minat petani untuk melakukan kembali budidaya karet alam. Bantuan pembiayaan peremajaan pohon sangat diperlukan sebab kualitas karet alam nasional yang masih di bawah negara pesaing. Kualitas getah yang dihasilkan pohon karet tua ini menjadi penyebab utama turunnya produktivitas. Dukungan pada pembiayaan peremejaan sangat krusial karena 80% perkebunan karet merupakan perkebunan rakyat yang terkendala oleh biaya peremajaan pohon.
Dari sisi tata kelola, Indonesia juga dapat mencontoh negara tetangga seperti Thailand yang memiliki Rubber Authority of Thailand. Kelembagaan tersebut nantinya akan mengemban misi utama dalam pengembangan kebijakan untuk mendukung pertumbuhan industri karet dan memastikan keberlanjutannya. Selain itu, badan dimaksud juga dapat mendukung riset dan inovasi dalam membantu petani meningkatkan produktivitas dan menjaga kualitas karet. Berbagai permasalahan terkait alih fungsi lahan juga dapat teratasi melalui kebijakan strategis yang dikawal badan tersebut. Tanpa adanya keberpihakan terhadap petani maupun industri karet, maka industri karet akan semakin redup dan Indonesia berpotensi kehilangan sumber ekspor yang tidak kecil. Dampak lainnya adalah potensi hilangnya lapangan pekerjaan, yang akan menimbulkan masalah sosio ekonomi di wilayah sentra karet alam.